KCFI dan Pendidikan Kebudayaan Baru: Mengapa Komunitas Film Penting bagi Literasi Budaya Indonesia
Di tengah gegap-gempita industri film—dari karpet merah festival hingga dominasi layar-layar komersial—terdapat sebuah gerakan yang tumbuh perlahan namun konsisten dari pinggiran ruang budaya kita. Gerakan itu bernama Komunitas Cinta Film Indonesia (KCFI).

Berbeda dari klub kritik film yang elitis, KCFI hadir sebagai jejaring akar rumput yang memiliki satu tujuan pendidikan yang sederhana tetapi radikal: mendemokratisasi akses terhadap film sebagai medium belajar, berekspresi, dan membangun kesadaran budaya.
Di bawah kepemimpinan Budi Sumarno, KCFI menempuh perjalanan panjang dari ruang-ruang diskusi kecil di Jakarta menuju sekolah, balai warga, hingga komunitas pemuda di berbagai daerah.
Melalui workshop, pemutaran film, kompetisi kreatif, dan produksi berbasis riset sejarah, KCFI menggeser pemahaman kita tentang film—bahwa ia bukan hanya industri hiburan, melainkan ruang publik pendidikan yang harus dimiliki bersama oleh masyarakat.
Akar Gerakan: Dari Keresahan ke Gagasan Pendidikan Kebudayaan
Kelahiran formal KCFI pada 29 Maret 2016 menyimpan latar kegelisahan yang lebih panjang: industri yang semakin tersentralisasi di ibu kota membuat banyak wilayah kehilangan ruang tampil, ruang berkarya, bahkan ruang menonton.
Dalam situasi seperti ini, Budi Sumarno—kurator, produser, sekaligus pendidik—menggagas model gerakan yang memadukan produksi kreatif dengan misi literasi budaya.

Bersama Adisurya Abdy dan Bernhard Uluan Sirait, Budi merumuskan bentuk komunitas yang tidak sekadar menggelar pemutaran film, tetapi juga mengembangkan keterampilan teknis, jejaring kreatif, dan ruang inklusi bagi pembuat konten pemula.

Gagasannya sederhana: jika industri arus utama terlalu eksklusif, maka komunitas harus hadir sebagai laboratorium pendidikan alternatif yang mendidik publik memahami, mengkritisi, dan—yang terpenting—menciptakan filmnya sendiri.
Visi Pendidikan Inklusif dan Praktik yang Berkelanjutan
Dua kata kunci yang merangkum visi KCFI adalah inklusi dan keberlanjutan. Dalam praktiknya, KCFI berupaya membuka akses bagi pelajar, pekerja informal, pembuat film amatir, hingga penyandang disabilitas untuk mengenal proses kreatif sinema.
Program-programnya mencakup:
- short course keterampilan kamera dan editing,
- lokakarya penulisan naskah,
- kompetisi video kreatif untuk siswa,
- pemutaran terbuka beserta diskusi reflektif,
- pelatihan khusus bagi penyandang disabilitas.
Inklusi, dalam konteks KCFI, bukan jargon moral, tetapi praktik pedagogis: memberi ruang belajar, ruang mencoba, dan ruang gagal bagi siapa pun yang ingin mengekspresikan diri melalui film. Di sinilah pendekatan pendidikan berbasis komunitas menemukan relevansinya.
Jejaring Belajar: Ekspansi ke Daerah dan Tantangan Dokumentasi
KCFI berkembang sebagai jaringan yang hidup. Aktivitasnya muncul di Bali, Semarang, Sumatera Selatan, Lumajang, Bandung, Majalengka, Surabaya, Indramayu, Bogor, Banten, Bekasi, hingga Palu. Namun ekspansi itu tidak terjadi dalam bentuk cabang administratif yang baku. Ia lebih mirip ekosistem belajar yang tumbuh mandiri menurut inisiatif lokal.
Di Bali, kegiatan kompetisi video melibatkan siswa; di Semarang, pemutaran film menjadi ruang dialog sosial; di Sumatera Selatan, pengurus baru menggagas produksi film sejarah lokal sebagai jembatan pendidikan budaya.
Fenomena ini memperlihatkan kekuatan sekaligus keterbatasan: kuat dalam daya gerak komunitas, tetapi lemah dalam data dan dokumentasi. Hingga kini belum tersedia inventaris publik yang memetakan wilayah aktif, capaian program, atau hubungan formal antara pusat dan daerah. Bagi peneliti pendidikan, celah ini adalah peluang riset bernilai tinggi.
Dampak Pendidikan dan Penguatan Literasi Budaya
Dampak kerja komunitas seperti KCFI tidak hanya bersifat kuantitatif—berapa peserta, berapa film—tetapi juga kualitatif.
Beberapa di antaranya:
- Peningkatan kemampuan teknis peserta yang sebelumnya tidak memiliki akses pelatihan.
- Stimulasi produksi konten lokal, terutama dari kalangan muda.
- Penguatan literasi budaya melalui film-film berbahan sejarah, cerita rakyat, atau realitas sosial setempat.
- Advokasi representasi, terutama bagi penyandang disabilitas yang kini tidak hanya menjadi penonton, tetapi ikut menghasilkan karya.
Secara sosiologis, film yang diproduksi komunitas juga berperan menjaga ingatan kolektif—merekam peristiwa, tradisi, dan pengalaman yang kerap tidak masuk radar industri komersial.
Tantangan Struktural dan Masa Depan Gerakan
Sebagai gerakan berbasis komunitas, KCFI menghadapi tiga tantangan utama:
- Pendanaan terbatas, sehingga sebagian besar program mengandalkan kreativitas pengurus lokal.
- Struktur organisasi yang longgar, membuat konsistensi program antardaerah sulit dijaga.
- Minimnya dokumentasi, yang berdampak pada akuntabilitas dan kesinambungan.
Ke depan, gerakan ini dapat memperkuat diri melalui pembangunan modul pelatihan standar, database jaringan, dan kemitraan pendidikan dengan sekolah, kampus, serta lembaga kebudayaan.
Film sebagai Ruang Belajar Kolektif
KCFI lahir dari pertemuan dua hal: cinta pada film dan ketidakpuasan terhadap sistem yang tidak inklusif.
Gerakan ini memperlihatkan bahwa pendidikan budaya tidak harus selalu hadir dari institusi formal. Ia dapat tumbuh dari ruang kecil, dari kamera pertama yang dinyalakan seorang pelajar, dari diskusi di balai warga, dari prakarsa masyarakat yang ingin melihat dirinya sendiri di layar.
Apabila industri film nasional ingin benar-benar merata dan demokratis, maka ruang-ruang kecil semacam ini harus dihargai sebagai infrastruktur pendidikan budaya yang strategis. KCFI telah membuka jalan itu—meski dengan segala keterbatasan, tetapi dengan keberanian yang patut dicatat dalam sejarah pendidikan kreatif Indonesia.
Teks : Imron Supriyadi (kabarsriwijaya.net) | Editor : Ahmad Maulana

