Antisipasi Bahaya Pinjol “Dapin Mincu” PPAM Indonesia Angkat Bicara
6 mins read

Antisipasi Bahaya Pinjol “Dapin Mincu” PPAM Indonesia Angkat Bicara

DEWANTARA.ID || PALEMBANG – Persatuan Pendamping Aspirasi Masyarakat (PPAM) Indonesia, mendesak aparat hukum, khususnya Polda Sumsel agar menindak tegas terhadap sejumlah pelaku dan pengelola aplikasi pinjaman online (Pinjol) ilegal, salah satunya, aplikasi pinjol “Dapin Mincu” dengan Owner atas nama Destriana Putri.

Ketua Umum PPAM Indonesia, Effendi Mulia, SH

Ketua Umum PPAM Indonesia, Effendi Mulia, SH mengatakan hal itu, dasarkan pada banyaknya keluhan warga dan sejumlah orang tua yang mengadukan persoalannya ke PPAM Indonesia.

Lebih lanjut Effendi mengatakan, diantara warga dan orang tua mengaku, anaknya terjerat dengan dana pinjol yang mengatasnamakan “Dapin Mincu” yang praktiknya sama seperti pinjol.

Oknum dari pelaku aplikasi “Dapin Mincu” ini dalam melakukan penagihan ada unsur teror dan ancaman, sehingga berakibat secara psikologis kepada putra-putri mereka.

“Kami mengkhawatirkan, dengan tekanan dari oknum itu, akan berdampak psikologis kepada yang bersangkutan. Mereka masih dalam proses pendidikan, sedang menjalani kegiatan belajar mengajar. Kalau ini dibiarkan, akan sangat mengganggu fokus belajar mereka,” tegas Effendi, Sabtu (09/03/2025).

Dari penelusurannya, PPAM Indonesia menemukan dalam aplikasi “Dapin Mincu” adanya pelanggaran terhadap peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Disebutkan, pada aplikasi “Dapin Mincu” ini, bila ada seseorang yang meminjam uang Rp. 500.000 selama 4 hari, maka peminjam harus mengembalikan sebesar Rp. 1.500.000.

Ket. Screenshot Pinjiol Dapin Mincu
Ket. Screenshot Pinjiol Dapin Mincu
Ket. Screenshot Pinjiol Dapin Mincu
Ket. Screenshot Pinjiol Dapin Mincu
Ket. Screenshot Pinjiol Dapin Mincu
Ket. Screenshot Pinjiol Dapin Mincu
Ket. Screenshot Pinjiol Dapin Mincu
Ket. Screenshot Pinjiol Dapin Mincu
Ket. Screenshot Pinjiol Dapin Mincu

Effendi menyebutkan, OJK telah menetapkan batas maksimum bunga harian untuk pinjaman online konsumtif.  Menurut OJK, tenor di bawah 6 bulan, maksimum bunga harian sebesar 0,3%.

Sementara, tenor di atas 6 bulan, maksimum bunga harian sebesar 0,2% (turun dari sebelumnya 0,3%). “Aturan ini mulai berlaku sejak 1 Januari 2025,” ujar Effendi.

Selain itu, menurut Effendi, untuk pinjaman produktif bagi sektor usaha mikro dan ultra mikro, OJK menetapkan batas bunga harian, tenor di bawah 6 bulan, maksimum bunga harian sebesar 0,275%. Sementara, tenor di atas 6 bulan, maksimum bunga harian sebesar 0,1%.

“Penyesuaian ini bertujuan untuk melindungi konsumen dan memastikan keseimbangan antara pemberi dana, penyelenggara layanan, dan penerima dana,” ujarnya.

Dari penjelasan itu, Effendi memastikan, praktik yang dilakukan aplikasi “Dapin Mincu” ini merupakan praktik bank gelap yang berkedok pinjol, yang melanggar undang-undang.

Menukil isi Pasal 46 Ayat (1) UU Perbankan, Effendi mengatakan, dalam undang-undang ini jelas disebutkan ; Setiap orang yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dipidana dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000 (dua ratus miliar rupiah).

Terkait kasus ini, Effendi menyebutkan, tim PPAM Indonesia juga masih melakukan pelacakan melalui online tentang aplikasi “Dapin Mincu” ini, sehingga tidak membahayakan warga dalam hal pemenuhan keuangan.

Sebab, diakui atau tidak, menurut Effendi, dampak sosial pinjol ini hingga sekarang cukup serius, baik dari segi sosial maupun psikologis.

Secara sosial dampak bagi masyarakat, sangat rentan menimbulkan perpecahan hubungan sosial. Sebab, dari kenyataannya, sudah banyak korban pinjol yang mengalami tekanan akibat utang yang membengkak. “Hal ini sering menyebabkan konflik dalam keluarga dan lingkungan sosial,” tegasnya.

Dampak lainya menurut Effendi, tidak jarang terjadi pelecehan dan intimidasi.  Sebab tidak sedikit beberapa pinjol ilegal menggunakan cara-cara kasar, seperti menyebarkan data pribadi peminjam, mengancam keluarga, atau mempermalukan korban di media sosial.

Praktik pinjol yang menyebarluaskan data pripadi seseorang menurut Effendi, melanggar undang-undang, yang diatur dalam pasal Pasal 27 ayat (3) UU ITE.

Pada pasal ini, mengatur tentang larangan penyebaran informasi elektronik yang mengandung penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, bukan secara spesifik mengenai penyebaran informasi pribadi tanpa izin.

Bunyi pasalnya : Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Ancaman pidananya, menurut Effendi, pelanggaran terhadap ketentuan ini diatur dalam Pasal 45 ayat (3) UU ITE, yang menyebutkan, bahwa pelaku dapat dikenakan,

pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

“Dengan demikian, ancaman pidana untuk pelanggaran Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah penjara maksimal 4 tahun dan denda maksimal Rp750 juta,” tegasnya.

Effendi menegaskan, meskipun dalam UU ITE tidak secara spesifik mengatur tentang penyebaran informasi pribadi tanpa izin, namun tindakan tersebut dapat dikategorikan melanggar undang-undang lain, terkait privasi atau perlindungan data pribadi.

“Oleh karena itu, penting untuk selalu menjaga dan menghormati privasi individu dalam beraktivitas di dunia digital. Dan kami mendesak agar aparat hukum segera menindak tegas,” tambahnnya.

Efek buruk pinjol ini, bisa lebih menyedihkan. Menurut Effendi, pinjol ini bisa berdampak pada meningkatnya angka kriminalitas,

“Tekanan ekonomi akibat utang dari pinjol, bisa membuat seseorang nekat melakukan tindakan kriminal seperti pencurian atau penipuan. Sebab, pinjol ilegal sering kali memberikan bunga tinggi yang membuat peminjam semakin terjerat utang dan sulit keluar dari masalah keuangan,” tambahnya.

Dampak psikologisnya, menurut Effendi, akibat terjerat pinjol, orang bisa stress dan kecemasan tinggi. Sebab, tekanan dari tagihan yang terus bertambah dan ancaman dari debt collector dapat menyebabkan stres berat.

Tidak sedikit diantara korban pinjol mengalami depresi dan gangguan mental.

“Banyak korban pinjol mengalami depresi karena merasa putus asa dan tidak bisa keluar dari jeratan utang,” ujarnya.

Bahkan dalam beberapa kasus, menurut Effensi korban pinjol memilih mengakhiri hidupnya, karena tidak tahan dengan tekanan dan intimidasi.

Berdasar kasus itu, PPAM Indonesia, mendesak kepada aparat hukum, baik polisi, dan lainnya agar dapat menangani pinjol ilegal untuk dintidak tegas.

“Aparat hukum harus secara aktif menutup dan menindak pinjol ilegal yang tidak memiliki izin resmi dari OJK. Memproses hukum pelaku pinjol ilegal yang melakukan intimidasi dan penyalahgunaan data pribadi. Hal ini dilakukan guna melindungi masyarakat dari intimidasi,” tegasnya.

Effendi juga mengusulkan, agar instansi aparat hukum menyediakan saluran pengaduan bagi korban pinjol ilegal. Hal ini dilakukan untuk memberikan perlindungan hukum bagi korban yang mendapat ancaman atau pelecehan.**

TEKS : TIM MEDIA PPMA Indonesia  | Editor : Imron Supriyadi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *