KH Taufik Hidayat : Untung Bebini, Rugi Belaki
11 mins read

KH Taufik Hidayat : Untung Bebini, Rugi Belaki

Satu kali di sebuah desa, ada sepasang suami isteri, sebut saja namanya : Andini dan Andono. Pasangan suami isteri ini, banyak mengundang tanggapan, ejekan dan gunjingan. Pasalnya, Andini dan Andono, termasuk pasangan suami isteri yang keluar dari akal normal kebanyakan pikiran warga sekitar.

Umumnya, orang berasumsi pasangan ideal itu, seimbang secara fisik : pria tampan dengan wanita cantik. Namun kata pepatah, pasangan ini secara fisik seperti bumi dan langit.

Pasangan ini sangat senada dengan serial televisi Si Cantik dan Si Buruk Rupa  yang ditayangkan perdana 12 Mei 2005. Tak ayal, bila kemudian hal ini mengundang banyak tanya para tetangga.

“Andini kok mau menikah dengan Andono? Apa mata Andini buta, atau karena kena pelet-nya Andono?” Sebagian tetangga mencibir, heran, curiga, aneh melihat pasangan ini.

Sebab, bila diukur dari disiplin ilmu Antropometri Wajah (Facial Anthropometry), Andini,  punya wajah simetris, kulitnya tampak sehat, bebas jerawat, dan cerah menunjukkan kebersihan, kesehatan, dan perawatan diri ala sosialita pada umumnya.

Ilustrasi : Google Image

Bentuk tubuhnya, sangat proporsional. Dalam industri modelling, Andini diukur sangat ideal. Tinggi badan 170–cm, bahu seimbang, pinggang ramping, kaki jenjang. Secara umum, bentuk tubuhnya hourglass (pinggang kecil, pinggul dan dada seimbang) sangat feminim dan menarik.

Belum lagi bibirnya penuh, hidung proporsional. Demikian juga dengan wajahnya, cenderung dinilai para lelaki lebih menarik dari perempuan lain. Ditambah lagi, rambut memanjang yang terawat, tebal, dan bersih. Matanya juga besar dan jelas, yang menambah keimutan dan daya tarik.

Sementara Andono, suaminya berbanding terbalik. Wajahnya asimetris. Kulit terlihat kusam, berjerawat, dan tidak terawat, menunjukkan kurangnya perhatian terhadap kebersihan dan kesehatan diri. Penampilannya jauh dari standar perawatan ala pria kebanyakan.

Bentuk tubuhnya tidak proporsional. Dalam konteks industri modeling, Andono tergolong jauh dari kategori ideal. Bahunya sempit, pinggang lebar, dan kaki pendek. Bentuk tubuhnya lebih ke arah tidak beraturan, tanpa lekuk tubuh kelelakian pada umumnya. Praktisnya, Andono tidak masuk dalam kategori pria Maskulin, yang berkarakter sosok laki-laki, tegas, kuat, keras, atau berpenampilan kokoh.

Ilustrasi AI

Agak lebih dekat, dalam konteks sosial dan psikologis, postur tubuh dan wajah Andono ibarat Tyrion Lannister dalam film Game of Thrones (Si Cebol)  yang bercerita tentang proses traumatis manusia pendek.

Sebab tinggi badannya di bawah rata-rata nasional. Sehingga, suami seperti Andono, sering mendapat stereotip sebagai sosok laki-laki yang kurang dominan atau kurang menarik secara evolusioner.

Dalam studi sosial, tinggi badan Andono tidak ada kesan sebagai pria yang memiliki jiwa kepemimpinan dan kepercayaan diri. Apalagi memikat Andini yang cantik jelita. Hal itu jauh panggang dari api.

Namun faktanya, pasangan ini sangat harmonis. Rukun. Dalam rumah tangganya berjalan normal. Dalam bahasa para ustadz dan kiai, Andini dan Andono sebagai keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah (penuh ketenteraman, ketenangan batin, cinta yang mendalam serta kasih sayang yang penuh kasih).

Pada sepertiga malam terakhir, usai menunaikan Salat Tahajud, keduanya berbincang lirih. Mereka berseloroh. Kepala Andini berada di pangkuan Andono. Tangan Andono juga membelai wajah Andini, mesra dengan kasih sayang.

“Kalau Adik pikir-pikir, kita berdua ini sudah sangat layak masuk surga,” ujar Andini memecah kesunyian malam. Mendengar itu, Andono terpancing untuk menggali argumentasi isterinya. Andono mulai menyoal kelayakan mereka masuk surga.

“Jangan sembarangan ngomong! Kita ini masih banyak dosa, ibadah kita juga masih sedikit. Jangan terlalu sombong. Apa alasannya, sampai adik berani mengatakan seperti itu?” ujar Andono pelan.

“Kalau yang pernah aku dengar dari para ustadz, syarat masuk surga itu kalau dalam kehidupannya diisi dengan katakwaan. Salah satu wujud takwa itu, kata Pak ustadz, orang yang hidupnya mengisi hatinya separuh dengan sabar dan separuh dengan syukur,” ujar Andini menguitp penjelasan dari para Mubaligh.

Malam itu Andono belum paham arah pembicaraan yang disampaikan isterinya.

“Lalu, apa hubungannya dengan kita?” Andono penasaran.

“Abang akan masuk surga, karena hidupnya selalu bersyukur, dengan memiliki isteri cantik seperti adik,” ujarnya manja.

“Kalau adik masuk surga, apa alasannya?” balas Andono mengejar jawaban.

“Kalau Abang masuk surga, adik juga harus masuk surga. Makanya, selama ini aku terus berjuang dan bertahan, meski adik ni dapat suami buruk seperti abang! Adik tetap sabar menghadapi ejekan dan cibiran para tetangga!” ujar Andini sembari tertawa kecil.

Andono sedikit bersungut kesal. Namun, obrolan malam itu berakhir dengan kemesaraan. Karena Andono dan Andini tetap memegang teguh kesabaran dan kesyukuran, atas semua takdir yang sudah mereka terima dari Allah Swt.

**

Kisah diatas memberikan satu mutiara hikmah dalam kehidupan. Satu kali, mungkin dalam menjalani keseharian, sebagai manusia normal dipastikan memiliki keinginan dan harapan. Namun faktanya, acapkali keinginan dan harapan itu tidak sesuai denga apa yang kita inginkan. Misalnya bagi pedagang yang sudah mengeluarkan modal usaha, dengan kalkulasi untung dan rugi.

angka-angka keuntungan

Diatas kertas, hitungan si pedagang, sudah muncul angka-angka keuntungan. Namun, tidak jarang, hitungan itu meleset, dan si pedagang merugi. Bukan hanya itu, untuk mengembalikan modal pun tak cukup. Demikian juga bagi petani yang berkebun dan bersawah. Semua proses tanam sudah dilakukan.

Misalnya petani kopi. Sudah menyiapkan lahan subur, memilih bibit kopi unggul, menyemai dan menanam bibit dengan benar. Merawat dengan berhati-hati.  Sejak penyiraman, pemupukan, penyiangan (membersihkan gulma di sekitar pohon kopi agar tidak berebut nutrisi) sampai pemangkasan (membuang cabang tidak produktif, dan mencegah penyakit). Hingga pengendalian hama dan penyakit. Apakah dipastikan panen-nya bagus, sesuai kehendak kita? Jawabnya : bisa iya, bisa juga tidak.

Pun demikian halnya dalam pemenuhan kebutuhan keseharian. Saat harga kopi naik, harga karet tinggi, gaji meningkat, penghasilan berlimpah, harga BBM stabil, harga beras, gula dan minyak terkendali dan terjangkau, maka ketika itu semua harapan sedang sesuai dengan keinginan kita.

Tentunya, ketika semua kehendak dan keinginan kita sesuai harapan, maka yang wajib kita lakukan adalah, respon positif dengan bersyukur kepada Allah Swt atas hasil yang telah dicapai. Caranya menggunakan seluruh nikmat untuk beribadah kepada Allah Swt (isti’maalu jami’iin-ni’aam, lil-ibadah).

Orang  gagal panen

Namun, dalam peristiwa lain, sering kali dalam kehidupan kita tidak sesuai dengan keinginan. Usaha yang kita lakukan, hasilnya tidak sesuai harapan. Misalnya petani karet baru saja nyadap belum diambil hasilnya sudah hujan deras. Bertanam padi belum sempat ngetam (panen) datang musim kemarau. Hasilnya jauh dari target. Orang menyebut gagal panen.

Bagi ibu-ibu ada kalannya masak nasi kebanyakan air, nasinya jadi loyak (lembut seperti bubur). Atau pernah juga dialami, masak beras karena ditinggal dan lupa, akhirnya nasi menjadi kerak. Dan masih banyak lagi peristiwa lain, yang seringkali tidak sesuai dengan keinginan dan harapan.

Pada saat semua keinginan, cita dan harapan tidak sesuai dengan yang diiinginkan, maka yang wajib dilakukan adalah respon positif melalui sabar, atas semua cobaan dan teguran dari Allah Swt yang sampai kepada kita.

Melalui sabar, bila kemudian semua usaha, ihtiar dan upaya yang telah dilakukan gagal atau tidak sesuai keiginan, Insya Allah tidak akan membuat kita menderita. Sebaliknya, bila kemudian semua yang diusahakan berhasil dengan gemilang, tidak juga membuat kita sombong, bila kita mengiringinya dengan bersyukur kepada Allah Swt.

Makna Syukur dan Sabar

Syukur dalam Islam bukan hanya sekadar mengucapkan alhamdulillah tetapi lebih dalam, yaitu; pertama; mengenal nikmat. Mengenal nikmat dalam arti, menyadari segala yang kita miliki, baik harta, tubuh, ilmu, waktu, kesehatan, keluarga dan semuanya pemberian dari Allah Swt.

Kedua; mengakui sumber nikmat. Mengakui bahwa Allah-lah satu-satunya sumber segala nikmat, bukan usaha atau kecerdasan diri semata. Diantaranya, menggunakan nikmat dalam ketaatan. Misalnya, nikmat mata untuk membaca Al-Qur’an dan melihat yang halal. Nikmat harta untuk sedekah dengan membantu sesama. Nikmat ilmu, untuk mengajar dan memberi manfaat. Nikmat waktu dan tenaga, untuk ibadah, mencari nafkah yang halal. Inilah maksud dari “isti‘mālu jamī‘i an-ni‘am li al-‘ibādah”.

Imam Al-Ghazali

Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din menyebutkan, syukur memiliki tiga unsur utama ; Asy-syukru yakūnu bil-qalbi, wa bil-lisāni, wa bil-arkān (Syukur itu dengan hati, lisan, dan anggota tubuh).

Menurut ulama asal Tus, Khurzan (Iran) yang memiliki nama asli Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali ini, tiga unsur dalam syukur itu, Pertama; bersyukur dengan qalb (hati); menyadari dan meyakini bahwa semua nikmat datang dari Allah. Kedua; bersyukur lisan; mengucapkan pujian kepada Allah, seperti mengucap ; Alhamdulillah.

Ketiga; bersyukur anggota tubuh; menggunakan nikmat itu dalam ketaatan kepada Allah Swt. Hakikat syukur menurut Al-Ghazali; menggunakan nikmat sesuai tujuan penciptaannya dalam ketaatan kepada pemberinya.

Sementara sabar menurut Imam Al-Ghazali, adalah menahan diri dari keinginan hawa nafsu, baik dalam menghadapi kesulitan maupun dalam menahan dorongan maksiat. Imam Al Ghazali membagi sabar ke dalam tiga bentuk utama, pertama ; sabar dalam ketaatan kepada Allah Swt (melaksanakan perintah meski berat).

Kedua; sabar dalam menjauhi maksiat (menahan diri dari godaan). Ketiga; sabar dalam menghadapi ujian (menerima takdir dengan tenang). Hakikat sabar menurut Imam Al-Ghazali menahan jiwa, agar tetap teguh menjalankan perintah dan menjauhi larangan, serta ridha atas segala ketentuan Allah Swt.

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah

Bersyukur, menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam Madarij as-Salikin ; merasakan nikmat, mengakui hak pemberi nikmat, dan menggunakannya sesuai kehendak-Nya. (syukru ‘ala tharīq al-istish‘ār wa al-istihqāq, wa isti‘māluhā fīmā yurīd al-mun‘im).

Menurut ulama yang punya nama asli Muhammad bin Abu Bakr bin Ayyub Az-Zur’i ini, menyebut syukur sebagai dasar kebahagiaan dan ketenangan jiwa, juga tanda kerendahan dan penghambaan kepada Allah, Swt.

Menurut ulama besar dalam bidang aqidah, tafsir, fiqih, dan tasawuf salafi ini, tingkatan syukur tertinggi adalah; menjadikan seluruh hidup sebagai bentuk ibadah dan pengakuan atas nikmat Allah Swt.

Sabar, menurut Imam Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam kitab “Madarij as-Salikin” sabar merupakan setengah dari keimanan. (Yang lain adalah syukur).

Menurutnya, sabar adalah menahan hati dari keluh kesah, lisan dari keluhan, dan anggota tubuh dari perbuatan yang tidak diridhai. Imam Ibn Qyyim menekankan, sabar sebagai kekuatan batin yang menahan guncangan nafsu dan emosi, sehingga orang tetap berada dalam jalan lurus menuju Allah Swt.

Hakikat sabar menurut Ibn Qayyim, merupakan ketenangan jiwa dan pengendalian diri dalam berbagai kondisi, karena yakin akan hikmah dan kasih sayang Allah Swt.

Imam Ibn Rajab al-Hanbali

Dengan redaksi yang berbeda, Imam Ibn Rajab al-Hanbali dalam Jāmi‘ al-‘Ulūm wa al-Ḥikam menjelaskan, hakikat syukur adalah memuji pemberi nikmat atas nikmat-Nya dengan hati, lisan, dan amal perbuatan.

Sama halnya dengan Imam Al-Ghazali, ulama asal Baghdad yang memiliki nama asli Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab ini membagi syukur menjadi: syukur hati (mencintai Allah dan menyandarkan nikmat kepada-Nya). Syukur lisan (memuji dan menyebut nikmat-nikmat Allah Swt), dan syukur amal (tidak menggunakan nikmat untuk bermaksiat, tapi untuk taat).

Sementara sabar, menurut Imam Ibn Rajab al-Hanbali, merupakan salah satu tingkatan tinggi dalam agama dan sangat berkaitan dengan keimanan dan takwa. Ditegaskan, sabar bukan hanya menahan emosi saat musibah, tetapi juga konsistensi dalam amal dan meninggalkan dosa, bahkan saat tidak dilihat manusia.

Puncak sabar menurut Imam Ibn Rajab al-Hanbali, berharap pahala dari Allah Swt (ihtisab), bukan hanya menahan rasa sakit. Hakikat sabar menurut Ibn Rajab, keteguhan dalam menjalani perintah, menjauhi larangan, dan menerima takdir, disertai harapan pahala dari Allah. Semoga Allah Swt menggolongkan kita sebagai hamba yang senantiasa mengiringi kegagalan dan keberhasilan dalam hidup dengan bersyukur dan bersabar.**

Muaraenim-Ponpes Laa Roiba, 6 Agustus 2021

Catatan : Dalam versi video dapat di Chanel Youtube Taufik Hidayat Official

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *