Cerpen Imron Supriyadi – Sakinah Bumi dan Langit
6 mins read

Cerpen Imron Supriyadi – Sakinah Bumi dan Langit

Cerpen Imron Supriyadi

Di sebuah desa kecil yang sunyi, tersimpan kisah yang tak biasa. Kisah tentang pasangan suami istri yang menjadi buah bibir dan sumber berbagai bisik-bisik tetangga. Mereka adalah Andini dan Andono.

Andini, gadis yang parasnya menyerupai bidadari dari negeri dongeng. Kulitnya putih cerah, rambut hitam panjang yang tergerai rapi, mata besar yang memancarkan kehangatan, dan tubuhnya yang tinggi jenjang membuat banyak mata terpaku padanya. Sebaliknya, Andono, suaminya, jauh berbeda. Wajahnya yang asimetris, kulit kusam dan berjerawat, serta postur tubuhnya yang pendek dan tak proporsional membuatnya seperti sosok yang tak pernah diperhitungkan dalam acara kencan desa manapun.

Masyarakat desa, yang sebagian besar masih mengukur segalanya dari fisik dan status, kerap memperolok hubungan mereka. “Andini kok mau menikah sama Andono? Apa dia buta? Atau kena pelet?” ejek mereka, tanpa tahu betapa kuat dan dalamnya cinta pasangan itu.

Suatu sore, ketika matahari mulai turun dan cahaya keemasan menyentuh atap rumah sederhana mereka, muncul tokoh baru di desa itu: Pak Darma, seorang guru tua yang terkenal bijak dan tak banyak bicara.

Pak Darma datang berkunjung, mengajak ngobrol Andini dan Andono di beranda rumah mereka yang sederhana. “Aku dengar banyak orang menilai kalian dari luar saja,” ucap Pak Darma dengan suara lembut.

Andini tersenyum, matanya berbinar. “Itu sudah biasa, Pak Darma. Kami sudah terbiasa jadi bahan pembicaraan.”

Andono mengangguk, sedikit cemberut. “Kadang mereka sampai menghina, Pak. Tapi kami tahu, itu hanya ketidaktahuan mereka.”

Ilustrasi : AI

Pak Darma menatap mereka berdua, lalu berkata, “Sebenarnya, ada hal yang jauh lebih penting daripada rupa. Hati. Dan hati kalian, aku yakin, jauh lebih indah dari apapun.”

Malam itu, setelah menunaikan salat tahajud, Andini dan Andono duduk di ruang tamu kecil mereka. Kepala Andini bersandar lembut di pangkuan Andono, sementara tangan Andono menyentuh pelan pipi istri tercintanya.

“Kalau dipikir-pikir, kita sudah sangat layak masuk surga,” kata Andini lirih, menembus sunyi malam.

Andono mengangkat kepala, matanya bertanya. “Kok bisa bilang begitu?”

Andini tersenyum manis, “Kata ustadz, salah satu syarat masuk surga adalah hati yang penuh dengan sabar dan syukur.”

“Kalau begitu, apa hubungannya dengan kita?” Andono masih belum paham.

“Abang selalu bersyukur. Bersyukur punya aku sebagai istri yang cantik,” ucap Andini sambil tertawa kecil manja.

Andono tertawa kecil, tapi segera menggoda, “Kalau aku masuk surga karena bersyukur, kamu harus masuk surga karena sabar menghadapi aku, yang buruk rupa dan penuh cacat ini.”

Andini mengangguk, “Betul. Aku sabar menghadapi ejekan orang-orang yang bodoh. Itu adalah bentuk cinta dan keteguhan hati.”

Dalam ketenangan malam itu, mereka berbicara tentang cinta, tentang pengharapan, tentang bagaimana mereka menemukan surga dalam satu sama lain, bukan karena penampilan, tapi karena jiwa.

Keesokan harinya, Pak Darma mengundang beberapa tetangga untuk bertemu di balai desa. Ia ingin membagikan sebuah kisah yang sudah lama ia simpan, agar orang-orang mulai mengerti arti sejati dari cinta dan kebahagiaan.

Di tengah keramaian, Pak Darma membuka cerita, “Dulu, saya pernah bertemu seorang wanita cantik yang menikah dengan pria kurang menarik secara fisik. Tapi mereka hidup penuh kebahagiaan. Mengapa? Karena mereka punya sesuatu yang tidak dimiliki banyak pasangan lain, yaitu kesabaran dan rasa syukur yang mendalam.”

Beberapa tetangga mulai saling berpandangan. Ada rasa malu terselip di wajah mereka.

Pak Darma melanjutkan, “Andini dan Andono adalah contoh nyata bahwa cinta bukan sekadar soal tampilan, tapi soal bagaimana kita saling menjaga, saling menghormati, dan menerima satu sama lain apa adanya.”

Setelah pertemuan itu, suasana desa berubah perlahan. Tidak ada lagi ejekan dan cibiran yang tajam. Sebaliknya, banyak yang mulai belajar menghargai, termasuk anak-anak muda yang sebelumnya sering meledek Andono.

Di antara mereka ada Rina, gadis remaja yang mulai menyadari arti cinta yang sesungguhnya. “Andono memang tak tampan, tapi dia orang yang sangat baik,” pikirnya dalam hati. “Mungkin aku harus belajar dari mereka.”

Hari-hari berlalu, Andini dan Andono terus menjalani hidup dengan penuh cinta dan kesabaran. Mereka punya cara unik dalam menghadapi masalah. Suatu waktu, saat musim hujan tiba, atap rumah mereka bocor dan menyebabkan genangan air di dalam kamar. Andini tidak menangis, Andono tidak marah. Mereka justru tertawa dan bersama-sama memperbaiki rumah itu, sambil saling menguatkan.

“Lihat, Andini. Meski kita hanya punya rumah kecil dan sederhana, kita punya satu sama lain,” kata Andono.

Andini mengangguk, “Dan itu jauh lebih berharga daripada rumah megah tanpa cinta.”

Pada suatu sore yang cerah, saat Andono sedang bekerja di sawah, datanglah seorang pemuda bernama Bima, sahabat lama Andono sejak kecil. Bima selalu menjadi sosok yang percaya diri, dengan postur tubuh tinggi dan wajah rupawan—kebalikan dari Andono.

Bima menatap Andono dan berkata dengan jujur, “Andono, aku dulu tidak mengerti kenapa kamu memilih Andini. Dia terlalu sempurna untukmu.”

Andono hanya tersenyum dan menjawab, “Bima, aku memilih Andini bukan karena wajahnya, tapi karena hatinya.”

Bima terdiam sejenak, lalu berkata, “Aku iri sama kamu. Aku punya segalanya secara fisik, tapi aku tidak punya seberapa banyak kebahagiaan yang kamu miliki.”

Malam itu, Bima pulang dengan pikiran yang berubah. Ia mulai menyadari bahwa hidup bukan soal bagaimana orang lain memandangmu, tapi bagaimana kamu mencintai dan dicintai.

Sedangkan di rumah, Andini dan Andono terus menguatkan ikatan mereka. Pada suatu malam, saat angin berhembus pelan di jendela, Andini berkata, “Abang, aku bersyukur dipertemukan dengan Abang, meski orang-orang meragukan.”

Andono mengusap rambut Andini, “Aku juga bersyukur, Adik. Karena kita punya surga kecil di sini, di hati kita.”

Mereka tahu, dunia ini tak selalu ramah pada orang yang berbeda dari norma. Tapi mereka juga tahu, cinta yang tulus dan kesabaran yang kuat akan selalu menjadi kunci untuk membuka pintu kebahagiaan sejati.

Muaraenim, Ponpes Laa Roiba, 21 Mei 2025

Catatan : versi video dapat di KLIK di Chanel Youtube DI SINI!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *