
Penulis : Imron Supriyadi
Ada banyak orang yang belajar agama. Ada pula yang mengajarkan agama. Tapi tak banyak yang menjadi agama itu sendiri—yakni hadir dengan kelembutan, memeluk dengan hikmah, dan menyembuhkan luka umat tanpa perlu banyak bicara.
Di tengah zaman yang sibuk berteriak soal kebenaran masing-masing, hadir seorang anak muda dari bumi Muara Enim yang lebih suka mengajak pelan-pelan, bukan memaksa cepat-cepat. Namanya Ahmad Mujtaba, atau yang lebih akrab disapa Gus Amu.
Tumbuh dari Pesantren
Gus Amu bukan tokoh dadakan. Ia tumbuh dari tanah pesantren, menyerap ilmu seperti akar pohon menyerap air. Ayahnya, KH. Muhammad Dainawi—yang dijuluki KH. Gerentam Boemi—bukan hanya ulama, tapi juga penyiram hati.
Dari tangannya lahir Pondok Pesantren Al-Haramain Al-Islami, yang menjadi rumah ilmu dan rumah pulang bagi banyak orang.
Dalam banyak tradisi pesantren, anak kiai biasanya punya dua pilihan: meneruskan pesantren, atau menjadi “figur simbolik” yang hanya muncul di acara-acara resmi.
Tapi Gus Amu memilih jalan ketiga: menjadi bagian dari denyut umat, masuk ke celah-celah kehidupan, tanpa kehilangan akarnya sebagai santri.

Ia menempuh pendidikan di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, bukan untuk mencari gelar, tapi untuk memperluas cakrawala. Di kampus, ia belajar bahwa Islam tidak bisa hanya diajarkan lewat mimbar. Ia harus dihayati, dirasakan, dan dihidupi—dengan santun dan senyum.
Dan di sinilah keistimewaannya. Banyak orang bisa ceramah. Banyak pula yang bisa memimpin organisasi. Tapi tak banyak yang bisa menjadi jembatan antara langit dan bumi.
Gus Amu, dengan tutur yang tenang dan wajah yang teduh, menjadikan agama terasa hangat, bukan menekan. Ia tidak membawa Islam seperti polisi membawa peluit, tapi seperti ibu membawa air hangat untuk anak demam.
Pemimpin yang Tak Takut Menjadi Kecil
Pada tahun 2018, Gus Amu didaulat memimpin PCNU Muara Enim. Tentu banyak yang memandang jabatan ini prestisius. Tapi ia sendiri menganggapnya beban yang harus dijalani dengan rendah hati. “Pemimpin itu seperti air,” katanya suatu hari. “Ia harus mengalir ke bawah, menyentuh akar, bukan diam di atas genteng.”
Apa yang disampaikan Gus Amu bukan hanya kalimat indah. Ia menjalani betul. Ketika banjir melanda kampung, ia bukan datang membawa kamera dan foto. Ia datang membawa pelukan. Ketika umat bingung dengan konflik antar kelompok, ia tak hadir sebagai hakim, tapi sebagai pendengar.
Banyak pemimpin sibuk merancang program yang wah, tapi lupa menyapa yang lemah. Gus Amu justru sebaliknya. Ia sering kali hadir tanpa spanduk, tanpa nama besar. Ia percaya, agama bukanlah billboard, tapi jalan sunyi menuju hati manusia.
Dalam berbagai forum keislaman, ia tidak mengeluarkan istilah rumit. Ia bicara sederhana, tapi menyentuh. Ketika bicara soal ukhuwah, ia tak bicara tentang teori, tapi tentang bagaimana rasanya ketika orang miskin tidak punya teman bicara, dan anak yatim tak punya pelukan.
Membawa NU ke Rumah Rakyat
Nahdlatul Ulama di tangan Gus Amu bukan organisasi yang kaku. Ia menjadikannya tempat pulang bagi umat. Bagi petani, nelayan, guru, pedagang kaki lima, hingga pemuda yang galau.
“NU itu bukan hanya milik orang alim,” ujarnya suatu waktu. “NU milik semua yang mencintai negeri ini, yang ingin hidup damai, dan mau belajar bersama.”
Visi Gus Amu sederhana tapi dalam: NU harus hadir di setiap detak kehidupan umat, bukan hanya di rapat-rapat pengurus. Maka ia membuka NU sebagai ruang dialog, bukan monolog. Menjadi tempat menyambung, bukan memutus.
Di tengah meningkatnya ujaran kebencian, Gus Amu mengajak semua untuk kembali pada hikmah, bukan hanya hukum. Di tengah banyaknya perdebatan tafsir, ia memilih untuk menafsirkan kebaikan dalam tindakan, bukan dalam perdebatan panjang.
Pesantren dan Moderasi
Sebagai pengasuh pesantren, Gus Amu tidak ingin para santri hanya pintar membaca kitab, tapi juga pintar merasakan hidup orang lain. Ia membangun program pesantren yang terbuka terhadap isu-isu sosial, digital, bahkan ekonomi.
Baginya, moderasi beragama itu bukan kompromi, tapi keberanian untuk tidak memihak pada kebencian. Ia menanamkan nilai ini pada santri, bahwa menjadi Muslim berarti menjadi rahmat, bukan beban.
Ia sering mengatakan, “Jangan merasa paling benar. Karena kebenaran yang sejati tidak membuat orang sombong, tapi membuat orang takut menyakiti.”
Dalam forum-forum pemuda, Gus Amu tidak datang dengan gaya menggurui. Ia lebih suka duduk bersila, mendengarkan curhat, dan menyisipkan petuah seperti embun di ujung daun. Lembut tapi masuk.
Jalan Panjang Membangun Umat
Kini, Gus Amu bukan hanya pemimpin NU atau pengasuh pesantren. Ia menjadi simbol dari model kepemimpinan yang merakyat tapi bermartabat, berilmu tapi rendah hati, aktif tapi tidak riuh.
Tantangan ke depan tidak ringan. Dunia Islam dihadapkan pada tantangan globalisasi, radikalisasi, dan digitalisasi. Tapi Gus Amu percaya bahwa akar itu lebih penting daripada suara. Ia terus mengakar ke masyarakat, membangun hubungan emosional, bukan hanya administratif.
Ketika banyak orang berlomba menonjolkan diri, Gus Amu memilih menjadi bayangan yang menyejukkan. Ia percaya, bahwa yang dikenang bukanlah yang banyak bicara, tapi yang banyak hadir di hati umat.
Dan mungkin, dalam diam-diam itu, dalam kerja-kerja kecil itu, Gus Amu sedang membuktikan bahwa agama bisa hidup tanpa harus selalu bicara keras.
Dalam dunia yang makin cepat dan bising, kita perlu lebih banyak tokoh seperti Gus Amu. Tokoh yang tidak hanya bicara soal Tuhan, tapi juga berjalan bersama manusia. Yang tidak hanya paham kitab, tapi juga paham luka. Yang tidak hanya mengisi podium, tapi juga mengisi ruang-ruang kosong dalam hati umat.
Akhirnya, seperti yang sering dikatakan Gus Mus:
“Kadang, agama itu terlalu besar untuk diurusi orang-orang yang suka membesar-besarkan diri.”
Dan di tengah mereka, Gus Amu hadir—bukan untuk membesarkan diri, tapi membesarkan cinta dan harapan umat.**
Palembang – Muaraenim, 2023-2025
